Silaturahmi ....
Betapa indahnya jikalau kita selalu bersilaturrahmi dan tetap menjaga
persaudaran di antara kita. Namun ada banyak dari sekian orang yang masih belum bisa
bersilaurrahmi karena mungkin belum tahu arti dari silaturrahmi itu sendiri.
Kali ini DTA akan memncoba sedikit membeberkan arti dari silaturrahmi.
Mengingat betapa pentingnya bersilaturrahmi dan betapa banyaknya manfaat dari
bersilaturrahmi.Dan ini semua sudah pernah di buktikan oleh DTA
sendiri,,,,,,,dan semoga rekan-rekan pembaca yang membaca ini juga dapat
mendapatkan manfaat dari silaturrahmi.
Makna Bahasa
Silaturahmi (shilah ar-rahim dibentuk dari kata shilah dan ar-rahim.
Kata shilah berasal dari washala-yashilu-wasl(an)wa shilat(an), artinya adalah
hubungan. Adapun ar-rahim atau ar-rahm, jamaknya arhâm, yakni rahim atau
kerabat. Asalnya dari ar-rahmah (kasih sayang); ia digunakan untuk menyebut
rahim atau kerabat karena orang-orang saling berkasih sayang, karena hubungan
rahim atau kekerabatan itu. Di dalam al-Quran, kata al-arhâm terdapat
dalam tujuh ayat, semuanya bermakna rahim atau kerabat.
Dengan demikian, secara bahasa shilah ar-rahim (silaturahmi) artinya adalah
hubungan kekerabatan.
Pengertian Syar‘i
Banyak nash syariat yang memuat kata atau yang berkaitan dengan shilah
ar-rahim. Maknanya bersesuaian dengan makna bahasanya, yaitu hubungan
kekerabatan. Syariat memerintahkan agar kita senantiasa menyambung dan menjaga
hubungan kerabat (shilah ar-rahim). Sebaliknya, syariat melarang untuk
memutuskan silaturahim. Abu Ayub al-Anshari menuturkan, “Pernah ada seorang
laki-laki bertanya kepada Nabi saw., “Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku
perbuatan yang akan memasukkan aku ke dalam surga.” Lalu Rasulullah saw.
menjawab:
«تَعْبُدُ اللهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُ
الصَّلاَةَ وَتُؤَتِيْ الزَّكَاةَ وَتَصِلُ الرَّحِمَ»
Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahmi. (HR
al-Bukhari).
Hadist ini, meskipun menggunakan redaksi berita, maknanya adalah perintah.
Pemberitahuan bahwa perbuatan itu akan mengantarkan pelakunya masuk surga,
merupakan qarînah jâzim (indikasi yang tegas). Oleh karena itu, menyambung
dan menjaga shilaturahmi hukumnya wajib, dan memutuskannya adalah haram. Rasul
saw. pernah bersabda:
«لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ»
Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan kekerabatan (ar-rahim).
(HR al-Bukhari dan Muslim).
Sekalipun menggunakan redaksi berita, maknanya adalah larangan; ungkapan
'tidak masuk surga' juga merupakan qarînah jâzim, yang menunjukkan bahwa
memutus hubungan kekerabatan (shilah ar-rahim) hukumnya haram.
Oleh karena itu, Qadhi Iyadh menyimpulkan, "Tidak ada perbedaan
pendapat bahwa shilah ar-rahim dalam keseluruhannya adalah wajib dan
memutuskannya merupakan kemaksiatan yang besar.
Untuk memenuhi ketentuan hukum tersebut, kita harus mengetahui batasan
mengenai siapa saja kerabat yang hubungan dengannya wajib dijalin, dan
aktivitas apa yang harus dilakukan untuk menjalin silaturahmi itu?
Dengan menganalisis makna ar-rahim atau al-arham yang terdapat dalam nash,
dan pendapat para ulama tentangnya, bisa ditentukan batasan kerabat tersebut.
Kata ar-rahim dan al-arhâm yang terdapat di dalam nash-nash yang ada bersifat
umum, mencakup setiap orang yang termasuk arhâm (kerabat). Ketika
menjelaskan makna al-arhâm pada ayat pertama surat an-Nisa’, Imam al-Qurthubi
berkata, "Ar-rahim adalah isim (sebutan) untuk seluruh kerabat dan tidak
ada perbedaan antara mahram dan selain mahram."
Ibn Hajar al-‘Ashqalani dan al-Mubarakfuri mengatakan, "Ar-Rahim mencakup
setiap kerabat. Mereka adalah orang yang antara dia dan yang lain memiliki
keterkaitan nasab, baik mewarisi ataupun tidak, baik mahram ataupun selain
mahram."
Asy-Syaukani mengatakan, "Shilah ar-rahim itu
mencakup semua kerabat yang memiliki hubungan kekerabatan yang memenuhi makna ar-rahim (kerabat)."
Allah Swt. memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada kerabat (QS
an-Nisa’4: 36); memberi kepada kerabat (QS an-Nahl 16: 90); memberikan hak
kepada kerabat (QS ar-Rum 30: 38); meski dalam hal itu sebagian mereka lebih
diutamakan dari sebagian yang lain (QS al-Anfal 8: 75 dan al-Ahzab 33: 6).
Rasul saw. pernah bersabda:
«يَدُ الْمُعْطِيْ الْعُلْيَا وَاِبْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ
اُمَّكَ وَأَبَاكَ وَاُخْتَكَ وَاَخَاكَ ثُمَّ اَدْنَاكَ اَدْنَاكَ»
Tangan yang memberi itu di atas (lebih utama) dan mulailah dari orang yang
menjadi tanggungan (keluarga)-mu, ibumu, bapakmu, saudara perempuanmu, saudara
laki-lakimu, orang yang lebih dekat denganmu, orang yang lebih dekat denganmu (HR
al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban).
Semua itu adalah bagian dari aktivitas silaturahmi. Dari gambaran seperti
itu, para ulama manarik pengertian silaturahmi. Menurut Al-Manawi, silaturahmi
adalah menyertakan kerabat dalam kebaikan. Imam an-Nawawi mengartikan silaturahmi
sebagai berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan kondisi orang yang menyambung
dan yang disambung; bisa dengan harta, kadang dengan bantuan, kadang dengan
berkunjung, mengucap salam, dan sebagainya.
Abu Thayyib mengartikan silaturahmi sebagai ungkapan tentang berbuat baik
kepada kerabat, orang yang memiliki hubungan nasab dan perkawinan; saling
berbelas kasihan dan bersikap lembut kepada mereka, mengatur dan memelihara
kondisi mereka, meski mereka jauh atau berbuat buruk. Memutus silaturahmi
berlawanan dengan semua itu.
Ibn Abi Hamzah berkata, "Silaturahmi bisa dilakukan dengan harta,
menolong untuk memenuhi keperluan, menghilangkan kemadaratan, muka
berseri-seri, dan doa."
Pengertian yang bersifat menyeluruh adalah menyampaikan kebaikan yang
mungkin disampaikan dan menghilangkan keburukan yang mungkin dihilangkan,
sesuai dengan kesanggupan.”Tentang siapa yang termasuk orang yang menyambung
silaturahmi, Rasul saw. pernah bersabda:
«لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِىءِ وَلَكِنَّ
الْوَاصِلَ الَّذِيْ إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا»
“Orang yang
menghubungkan silaturahmi bukanlah orang yang membalas hubungan baik. Akan
tetapi, orang yang menghubungkan silaturahmi adalah orang yang ketika
kekerabatannya diputus, ia menghubungkannya. (HR al-Bukhari).
Menyambung silaturahmi adalah jika hubungan kerabat (shilah ar-rahim)
diputus, lalu dihubungkan kembali. Orang yang melakukannya berarti telah
menghubungkan silaturahmi. Adapun jika kerabat seseorang menghubunginya, lalu
ia menghubungi mereka, hal itu adalah balas membalas; termasuk aktivitas saling
menjaga silaturahmi, bukan menyambung silaturahmi.
Kesimpulan
Dari paparan di atas, maka silaturahmi adalah hubungan kerabat; berupa hubungan kasih-sayang, tolong-menolong, berbuat baik, menyampaikan hak dan kebaikan, serta menolak keburukan dari kerabat yaitu ahli waris dan ûlu al-arhâm.
Hubungan dengan selain mereka tidak bisa disebut silaturahmi, karena tidak
terpenuhi adanya ikatan kekerabatan (ar-rahim). Ikatan dengan sesama Muslim
selain mereka adalah ikatan persaudaraan karena iman yaitu ikatan ukhuwah
(silah al-ukhuwah), bukan silaturahmi. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.
Kata tersebut sudah menjadi bahasa Indonesia. Penulisan alih kata (translatter)
yang tepat untuk“shilaturrahim”adalah silaturahim, sesuai dengan
pengertian bahasa dan etimologi yang akan kita bahas dalam tulisan
ini.Penulisan alih kata yang kurang tepat, dan sering kita temukan di media
cetak untuk “shilatur rahim” adalah dengan “silaturahmi” karena tidak sesuai
dengan pengertian etimologi dan terminologi.
Secara etimologi, silaturahim adalah ungkapan gabungan antara mudhaf (yang
disandarkan), yakni ‘Shilah’ dan mudhaf ilaihi (tempat penyandaran
mudhaf), yakni ‘Rahim’. Shilah merupakan mashdar dari washala, artinya
menggabungkan sesuatu kepada sesuatu saat ada kaitan dengannya, lawan kata dari
hijran (meninggalkan). Sedangkan ar-rahimu pecahan kata rahima.
Sedangkan secara terminologi, Imam Nawawi memberi batasan, “Shilatur rahim
artinya berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan kondisi yang menyambung
maupun yang disambung. Kadang kala dengan harta benda, pelayanan, kunjungan,
salam, dan lain-lain.”
Ibnu Manzhur menjelaskan adanya kaitan antara kedua pengertian etimologi dan
terminologi. Ia katakan, “Shilatur rahim merupakan kiasan tentang berbuat baik
kepada kerabat yang ada hubungan nasab maupun perkawinan, bersikap sayang dan
santun kepada mereka, memperhatikan kondisi mereka, meskipun mereka jauh atau
menyakiti. Qath’ur rahim adalah lawan katanya. Seolah-olah dengan berbuat
baik kepada mereka hubungan kekerabatan, perkawinan, dan hubungan sah telah
terjalin.”
Mengenai batasan rahim yang wajib disambung, Nawawi berkata, “Para ulama
berbeda pendapat tentang batasan rahim yang wajib disambung. Ada yang
berpendapat, setiap rahim itu muhrim. Di mana jika salah satunya perempuan dan
yang lain laki-laki, tidak boleh menikah. Ada
lagi yang berpendapat, ia bersifat umum mencakup semua yang ada hubungan rahim
dalam hak waris. Antara yang muhrim dan tidak, sama saja. Inilah pendapat yang
benar sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya kebaikan yang paling
baik adalah jika seseorang menyambung kerabat cinta ayahnya.”
Halal bihalal, dua kata berangkai yang sering diucapkan dalam suasana Idul
Fitri, adalah satu dari istilah-istilah "keagamaan" yang hanya
dikenal oleh masyarakat Indonesia. Istilah tersebut seringkali menimbulkan
tanda tanya tentang maknanya, bahkan kebenarannya dari segi bahasa , walaupun
semua pihak menyadari bahwa tujuannya adalah mencipakan keharmonisan antara
sesama.
Hemat saya, paling tidak ada dua makna yang dapat dikemukakan menyangkut
pengertian istilah tersebut, yang ditinjau dari dua pandangan. Yaitu, pertama,
bertitik tolak dari pandangan hukum Islam dan kedua berpijak pada arti
kebahasan.
Menurut pandangan pertama - dari segi hukum - kata halal biasanya
dihadapkan dengan kata haram. Haram adalah sesuatu yang terlarang sehingga
pelanggarannya berakibat dosa dan mengundang siksa, demikian kata para pakar
hukum. Sementara halal adalah sesuatu yang diperbolehkan serta tidak mengundang
dosa. Jika demikian, halal bihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak
lain yang tadinya haram dan berakibat dosa. menjadi halal dengan jalan memohon
maaf.
Pengertian seperti yang dikemukakan di atas pada hakikatnya belum menunjang
tujuan keharmonisan hubungan, karena dalam bagian halal terdapat sesuatu yang
dinamai makruh atau yang tidak disenangi dan sebaiknya tidak dikerjakan.
Pemutusan hubungan (suami-istri, mislanya) merupakan sesuatu yang halal tapi
paling dibenci Tuhan. atas dasar itu, ada baiknya makna halal bihalal tidak
dikaitkan dengan pengertian hukum.
Menurut pandangan kedua - dari segi bahasa - akar kata halal yang kemudian
membentuk berbagai bentukan kata, mempunyai arti yang beraneka ragam, sesuai
dengan bentuk dan rangkaian kata berikutnya. Makna-makna yang diciptakan oleh
bentukan-bentukan tersebut, antara lain, berarti "menyelesaikan
problem", "meluruskan benang kusut", "melepaskan ikatan",
dan "mencairkan yang beku".
Kini dapat kita
mengerti, betapa pentingnya silaturahmi dalam Islam. Maka melihat pentingnya
silaturahmi tersebut, berikut merupakan 10 manfaat Silaturahmi menurut Abu Laits
Samarqandi, yaitu:
1. Mendapatkan ridha dari Allah SWT.
2. Membuat
orang yang kita dikunjungi berbahagia. Hal ini amat sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW, yaitu “Amal yang paling utama adalah membuat
seseorang berbahagia.”
3. Menyenangkan
malaikat, karena malaikat juga sangat senang bersilaturahmi.
4. Disenangi
oleh manusia.
5. Membuat
iblis dan setan marah.
6. Memanjangkan
usia.
7. Menambah
banyak dan berkah rejekinya.
8. Membuat
senang orang yang telah wafat. Sebenarnya mereka itu tahu keadaan kita yang
masih hidup, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka merasa bahagia
jika keluarga yang ditinggalkannya tetap menjalin hubungan baik.
9. Memupuk rasa cinta kasih terhadap sesama, meningkatkan rasa kebersamaan dan rasa kekeluargaan, mempererat dan memperkuat tali persaudaraan dan persahabatan.
10. Menambah pahala setelah kematiannya, karena kebaikannya (dalam hal ini, suka bersilaturahmi) akan selalu dikenang sehingga membuat orang lain selalu mendoakannya.
No comments:
Post a Comment